KOMPAS.com — Pemberian grasi
atau pengampunan berupa pengurangan hukuman oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap terpidana
mati kasus narkotika, Meirika Franola
alias Ola, menjadi tamparan telak. Mengapa?
Dalam suatu penangkapan
terhadap kurir narkotika berinisial NA di Bandung, Jawa Barat, terungkap NA
diduga dikendalikan oleh Ola yang belum lama ini mendapat grasi. Grasi juga
diberikan kepada terpidana mati perkara narkotika, Deni Setia Maharwa.
Sebelumnya, presiden juga memberikan grasi
kepada Schapelle Leigh Corby. Corby, warga negara Australia yang memasukkan
narkotika dari Australia, mendapat keringanan hukuman selama lima tahun dari
hukuman yang harus dijalani, yaitu selama 20 tahun.
Mahkamah
Agung (MA) pun pernah mengubah hukuman mati
terhadap terpidana perkara narkotika, Hanky Gunawan dan Hillary Chimezie, warga
negara Nigeria, menjadi hukuman 15 tahun penjara.
Berbeda dengan Singapura atau China, Indonesia akan dianggap
negara ”lunak” atau ”lembek” dalam memberi sanksi terhadap pelaku kejahatan
narkotika.
Padahal, setiap ada penangkapan bandar narkotika dari jaringan
internasional, publik diperlihatkan betapa dahsyat serangan narkotika ke pasar
Indonesia.
Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Inspektur
Jenderal Benny Mamoto pernah mengungkapkan, Indonesia menjadi pasar potensial
pelaku kejahatan narkotika internasional karena pasar besar, harga bagus, dan
sanksi hukum yang masih lemah.
Dari data BNN, jumlah kasus penyalahgunaan narkotika tahun 2011
mencapai 29.526 kasus. Tahun 2010, jumlah kasus penyalahgunaan narkotika
sebanyak 26.461 kasus. Jumlah tersangka dalam kasus narkotika tahun 2011
sebanyak 36.392 orang, dan tahun 2010 sebanyak 33.274 tersangka.
Estimasi kerugian biaya ekonomi akibat narkoba tahun 2011 lebih
tinggi sekitar 49 persen dibandingkan tahun 2008. Tahun 2011, total kerugian
biaya diperkirakan Rp 48,2 triliun, yaitu terdiri atas Rp 44,4 triliun kerugian
biaya individual dan Rp 3,8 triliun biaya sosial.
Mengapa pejabat negara, pemerintah, atau bahkan penegak hukum
terkesan belum memiliki komitmen yang kuat? Ada berbagai faktor. Salah satunya,
godaan yang begitu menggiurkan dari bisnis narkotika, yaitu uang dalam jumlah
yang besar. Tidak jarang, aparat BNN menangkap petugas lembaga pemasyarakatan
karena terkait dengan perdagangan narkotika di dalam penjara.
Pengusutan proses
Grasi memang merupakan hak prerogatif presiden yang tidak dapat
diganggu gugat. Namun, yang menjadi persoalan, bagaimana proses grasi diajukan
sehingga grasi pada akhirnya bisa keluar.
Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, menilai presiden telah
”kecolongan” dalam memberikan grasi kepada terpidana mati Ola. ”Saran Saya,
Presiden perlu memerintahkan sebuah penyelidikan internal untuk mengetahui
siapa saja yang terlibat dalam merekomendasikan grasi untuk Ola,” tuturnya.
Pengusutan proses itu juga menjadi penting untuk memastikan
apakah ada jaringan Ola yang mampu menembus Kantor Kepresidenan untuk
mendapatkan kebijakan grasi. (FER)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar